عن عَبْد اللَّهِ بْنَ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لاَ يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ وَلاَ شَرْطَانِ فِى بَيْعٍ وَلاَ رِبْحُ مَا لَمْ تَضْمَنْ وَلاَ بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ ».
Dari Abdullah bin ‘Amr, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tidaklah halal transaksi utang-piutang yang dicampur dengan transaksi jual beli, tidak boleh ada dua syarat dalam satu transaksi jual beli, tidaklah halal keuntungan yang didapatkan tanpa adanya tanggung jawab untuk menanggung kerugian, dan engkau tidak boleh menjual barang yang bukan milikmu.” (HR. Abu Daud, no. 3506; hadis hasan)
Berdasarkan hadis tersebut, bisa kita ketahui bahwa di antara transaksi yang terlarang adalah sebuah transaksi jual beli yang mengandung dua syarat.
Ada beberapa penjelasan dari para ulama tentang dua syarat dalam satu transaksi jual beli. Penjelasan yang dinilai sebagai penjelasan yang paling baik dalam masalah ini adalah pendapat yang mengatakan bahwa yang dimaksudkan adalah larangan “jual beli ‘inah”.
Contoh jual beli ‘inah adalah: Saya menjual handphone (HP) saya kepada Anda dengan harga 1,5 juta rupiah, secara tidak tunai, dengan waktu jatuh tempo satu bulan lagi. Setelah HP tersebut ada di tangan Anda dan telah menjadi milik Anda, HP tersebut kembali saya beli dari Anda dengan harga satu juta, yang saat ini juga, uang satu juta tersebut saya serahkan kepada Anda dan HP tersebut kembali ke tangan saya.
Kondisi riil yang terjadi adalah: Saya serahkan kepada Anda uang sebesar satu juta rupiah, dan pada bulan depan, Anda berkewajiban untuk menyerahkan uang sebesar 1,5 juta rupiah kepada saya. Adapun HP dalam ini hanya sekadar alat untuk akal-akalan terhadap aturan syariat.
Di antara ulama yang berpendapat bahwa dua syarat dalam satu transaksi jual beli adalah jual beli ‘inah adalah Ibnul Qayyim. Beliau beralasan bahwa istilah “syarat” sering kali digunakan dengan makna “akad”, karena kedua belah pihak yang mengadakan transaksi membuat persyaratan atau perjanjian untuk melaksanakan ketentuan akad.
عن معمر بن راشد عن أبي إسحاق السبيعي عن امرأته أنها : دخلت على عائشة رضي الله عنها فدخلت معها أم ولد زيد بن أرقم الأنصاري وأمرأة أخرى فقالت أم ولد زيد بن أرقم يا أم المؤمنين إني بعت غلاما من زيد بن أرقم بثمانمائة درهم نسيئة وإني إبتعته بستمائة درهم نقدا فقالت لها عائشة بئسما أشتريت وبئسما شريت إن جهاده مع رسول الله صلى الله عليه و سلم قد بطل إلا أن يتوب
Dari Ma’mar bin Rasyid dari Abu Ishaq As-Sabi’i dari isterinya. Suatu hari, isteri dari Abi Ishaq berkunjung ke rumah Aisyah. Ketika itu, bersamanya, budak perempuan milik Zaid bin Arqam Al-Anshari dan seorang wanita yang lain ikut berkunjung pula ke rumah Aisyah. Budak perempuan milik Zaid bin Arqam mengatakan, “Wahai Bunda, sesungguhnya, aku menjualkan budak laki-laki milik Zaid bin Arqam seharga 800 dirham dengan tidak tunai, lalu aku beli kembali budak tersebut dengan harga 600 dirham tunai (baca: jual beli ‘inah).” Bunda Aisyah mengatakan, “Sungguh jelek transaksi jual beli yang kau lakukan. Sungguh, pahala jihad bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang didapatkan oleh Zaid bin Arqam telah batal, kecuali jika dia mau bertobat.” (HR. Daruquthni dalam Sunan-nya, no. 212)
Sungguh, pahala jihad adalah pahala yang sangat besar, apalagi jihad bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Meski demikian, pahala yang demikian besar itu terhapus sia-sia gara-gara melakukan transaksi ‘inah. Ini menunjukkan bahwa transaksi ‘inah itu sangat-sangat berbahaya dan sangat besar dosanya.
Artikel www.PengusahaMuslim.com